Rabu, 19 September 2012

Ilustrasi (Foto: Feri Usmawan/Okezone)

DIANDRA, anakku tersayang masih saja seperti ingin mencoba mencabik-cabik perasaanku yang telah rapuh ini. Tetapi, tetap saja rasa cintaku padanya tak mampu aku pungkiri, hingga betapa sakit pun dia memberikan perlakuan yang tak sepantasnya padaku, aku tetap tersenyum.

Aku tak bisa marah padanya, karena di dunia ini hanya dia yang aku punya. Walau, banyak yang menghasutku untuk memberi pelajaran keras pada putriku, Diandra. Namun, tetap saja, perasaan hatiku tak akan pernah tega melakukannya. Bagaimana mungkin darah dagingku sendiri kusakiti? Ah, walau memang pada kenyataannya Diandra pun menyakiti aku begitu dalam.

Hari sudah sangat gelap bahkan terlalu larut, namun Diandra anakku sayang belum juga pulang dari kampus. Di kamarku yang mungil, hanya aku sendiri bersama tape yang memutarkan lagu, Glenn Fredly yang berjudul Terang

Terdengar olehku lirik lagu yang damai itu, “Jadilah garam, jangan di tengah lautan. Jadilah harapan, jangan hanya berharap. Jadilah jawaban,  jangan hanya ucapan. Jadilah jawaban, jangan tambahkan beban”.Mataku menerawang entah ke mana, namun seandainya Diandra betul-betul menjadi terang, garam, harapan bahkan jawaban. Betapa aku menjadi Ibu yang paling bahagia di dunia ini. Tetapi apa? Aku… Aku takut sekali membuat anakku itu kembali marah lalu melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menjelaskan bahwa aku adalah Ibu yang lemah jika tanpa Ayah. Dia tak mengertikah? Atau dia tak mau mengerti? Padahal aku hanya ingin dia menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Aku hanya ingin dia tidak merasakan kekalahan yang seperti aku rasakan ini.
 
Tapi apa? Setiap kali dia aku minta untuk mandiri, dia selalu membangkang. Apa dia sudah lupa, bahwa kehidupan yang sekarang ini jelas sangat berbeda dengan kehidupan beberapa tahun yang lalu, di mana tahun-tahun yang penuh bahagia dengan berkecukupan. Sekarang? Sungguh, aku dan dia sudah sangat jatuh miskin, setelah kepergian Ayahnya. Seharusnya Diandra memberi pengertian padaku. Namun, tetap saja, Diandra menolak dan malah semakin menjauh.
 
“Pokoknya besok uang kuliah Diandra dibayar lunas, Bu” kata Diandra dengan nada yang tak sopan. “Ibu belum punya uang.” kataku pelan, sambil berharap cemas agar Diandra tidak marah padaku dan membenciku. “Dan mungkin, bisa jadi Ibu nggak bakalan mampu lagi membayar uang kuliahmu, tepat waktu. Makanya, Nak. Ibu mohon dengan sangat padamu, cari kerja sambilanlah. Supaya kamu nggak putus kuliah.” Kuelus rambut anakku itu dengan penuh harap agar dia mengerti.
 
“Ibu ini gimana, sich? Aku ini masih tanggung jawab Ibu, umurku masih 20 tahun. Jadi wajar kalau aku mintanya sama Ibu. Ini malah ‘nyuruh-nyuruh aku kerja lagi,” kata Diandra kencang sambil menunjuk-nunjuk aku. “Makanya, Ibu jangan sakit-sakit melulu! Habis khan harta Ayah!” kata Diandra kejam lalu masuk ke kamar membanting pintu. Blammm!!!
 
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba sebuah ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunanku, yang ternyata telah mampu membuat aku melelehkan air mata. Aku pun keluar dari kamar dan berjalan ke arah pintu. Dalam hati aku sudah menebak, pastilah yang ada di balik pintu itu adalah Diandra, anakku tersayang.
 
Krieeettt… Baru saja aku membukakan pintu, dan telah disambut oleh tatapan sinis Diandra. Oh, Tuhan… Betapa hancurnya perasaanku sebagai Ibu. Aku hanya berusaha tersenyum manis pada anakku ini. Entahlah, semenjak kematian Ayahnya, dia berubah menjadi anak yang menakutkan.
 
“Darimana, Di?” tanyaku lembut dan berusaha tidak marah, walau kenyataannya jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Diandra diam, dan langsung melengos masuk ke dalam rumah.
 
“Diandra…” panggilku padanya, namun Diandra diam seribu bahasa. Kulihat di wajahnya seperti menyimpan kekesalan. Apa mungkin dia menjalani hari ini penuh dengan kekesalan? Apa yang membuat anakku kesal? Aku ingin bertanya, tapi tetap saja Diandra menunjukkan ekspresi yang tak mau diganggu.
 
“Diandra kesal sama Ibu!” katanya marah dan berlalu ke dalam kamar. Aku hanya diam seribu bahasa, walau pada kenyataannya hati seorang Ibu yang mana yang tidak hancur mendengar perkataan seperti yang Diandra ucapkan. Apa mungkin karena uang kuliahnya? Oh, Tuhan… Sungguh aku tak sanggup menjalani ini semua. Bagaimana mungkin aku harus berpikir keras, mana yang seharusnya terlebih dahulu aku utamakan. Uang pembayaran untuk operasi kanker payudaraku minggu depan, atau uang kuliah Diandra? Aku sungguh bingung, Tuhan.
 
“Maafin, Ibu, yach, Nak?” Bisikku pada papan pintu kamar Diandra walau tidak akan ada jawaban. “Besok uang kuliahmu, Ibu bayar. Jangan marah lagi sama Ibu, yach, Nak? Ibu nggak tahan melihat darah daging Ibu sendiri marah-marah pada Ibu. Maafin Ibu, yach, Nak?” kataku lagi. “Diandra?” Panggilku, namun tak ada jawaban dari dia. Aku pun berjalan menjauh dari kamar itu.
 
***
Pagi yang dingin. Sama dengan dinginnya hatiku. Mau bilang apa lagi, aku harus merelakan uang untuk biaya operasi kanker payudaraku menjadi untuk uang kuliah Diandra. Diandra sejak tadi pagi sudah berlalu lalang di depanku. Ingin aku panggil dia, namun aku takut dia tidak menjawab dan sama saja membuat aku sakit hati lagi. Beberapa saat kemudian, Diandra berhenti dari lalu lalangnya, dan berdiri di depanku, menyodorkan telapak tangannya padaku.
 
“Uang kuliahku, Bu…” katanya kesal, entah mengapa Diandra sepertinya sangat tidak suka berhadapan denganku. Aku pun selalu berpikir, sebenarnya apa yang membuat Diandra sangat membenci aku. Apa karena aku miskin? Apa karena aku penyakitan? Oh, Tuhan, aku sangat takut sekali anakku ini durhaka.
 
“Ini, Nak,” kataku sambil menyodorkan sejumlah uang yang pasti akan membuat uang untuk biaya operasi menjadi kurang. “Padahal uang itu untuk biaya operasi Ibu, lho, Nak,” kataku pelan.
 
Diandra menghitung-hitung uang yang aku berikan, kemudian mengangkat kembali wajahnya. “Operasi? Bukannya itu pekerjaan yang sia-sia, yach? Lagian uang Ayah udah terlalu banyak untuk Ibu pake. Apa Ibu lupa sama perkataan Ayah sebelum meninggal?” tanyanya dengan bola mata yang dibesar-besarkan.
 
“Iya Ibu ingat,” kataku tak membantah agar Diandra tidak tersulut emosinya. “Nak…” panggilku lagi, namun Diandra diam sambil sibuk menyelipkan uangnya ke dalam tasnya. “Kamu nggak tertarik apa sama pekerjaan yang ditawarin Tante Melin kemarin? Lagian bisa setengah hari, lho, Nak, kerjanya,” tanyaku.
 
“Kerja?” Diandra terlihat tersenyum remeh pada pertanyaanku tadi. “Aku ini masih tanggung jawab Ibu. Jadi untuk apa kerja?” kata Diandra denga sebal kepadaku. “Dan ingat, yach, Bu. Seharusnya, Ibu malu mengucapkan kata-kata yang malu-maluin kayak tadi. Ingat, Bu! Di mana tanggung jawab Ibu sebagai orang tua???” katanya lantang.
 
“Kamu, kok, ngomongnya tega begitu, Nak?” Aku hampir tak mampu menahan tangis mendengar anakku berkata remeh kepadaku.
 
“Ibu, sich. Seharusnya Ibu lihat temen-temenku yang hidupnya masih di tanggung jawab orang tuanya. Orang tua mereka nggak pernah punya niat lepas tanggung jawab. Diandra minder, Bu. Minder!” kata Diandra hampir menangis. Sepertinya Diandra tidak sadar bahwa dia sudah tidak pantas mengatakan hal itu lagi, karena dia bukan orang berada seperti yang dulu.
 
Kulihat Diandra pergi dengan kesal keluar dari rumah, dia tak permisi sama sekali padaku. Ingin rasanya aku memeluknya dan meminta maaf atas keadaan ini, tapi mau bagaimana lagi, dia sudah sangat membenci aku.
 
***
 
Seminggu telah berlalu, namun aku tak pernah lagi ke rumah sakit. Uang yang ada di tanganku terlalu kurang, apa lagi rumah sakit yang ingin aku datangi ini selalu meminta untuk pembayaran dahulu sebelum benar-benar dioperasi. Aku sudah pasrah akan keadaan. Obat yang biasanya kuminum sebagai pengganjal rasa sakit pun kini sudah habis. Aku betul-betul pasrah dan menyerahkan seluruhnya hidupku sesuai kehendak Tuhan.
 
Diandra pun semakin tak pernah betah tinggal di rumah. Bahkan, terkadang dia tidak pulang ke rumah. Aku kalut dengan anakku itu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Sementara tubuhku kini kian kaku, nyeri bahkan tampak menyedihkan. Ingin menegur dia, tapi aku sangat takut dibantah lagi dengan logika-logikanya itu. Entah kapan dia berbicara padaku menggunakan perasaan, bukan logika.
 
Ah, seandainya saja aku masih bisa membeli obat untuk pengganjal nyawa ini, tapi sepertinya aku lebih memilih diam saja dengan uang itu. Siapa tahu suatu saat jika aku sudah tidak ada, uang itu bisa untuk digunakan anakku, Diandra kuliah nanti.
 
Malam itu, lagi-lagi Diandra tak pulang ke rumah, aku takut tidak bisa menegurnya lagi karena sepertinya waktuku hampir tiba, lagi pula selama ini sepertinya aku memang tak pernah punya nyali untuk menegurnya. Kuambil kertas dan pulpen untuk menyampaikan keluh kesahku pada kertas. Entah sejak kapan aku menyukai menulis mengenai catatan harianku? Yang pasti tulisan itu kutujukan untuk anakku, Diandra.
 
Dear, Diandra, putriku tersayang,
 
Kamu memang anak Ibu dan tanggung jawab Ibu sampai selamanya. Ibu sangat sayang Diandra. Betapa Ibu sujud syukur saat tahu Tuhan menitipkan Diandra yang cantik pada Ibu dan Ayah. Seharusnya, Diandra tahu itu, khan?


Kalau Diandra tahu, kenapa Diandra seperti ingin menganggap Ibu jahat, tidak bertanggung jawab? Ibu bukan seperti itu, khan, Nak? Ibu bukan jahat, khan? Bukan tidak bertanggung jawab, khan? Ibu hanya lemah dan tak berdaya, khan? Lalu, kenapa Diandra seperti nggak mau tahu itu? Apa Diandra malu sama Ibu yang penyakitan dan miskin seperti sekarang ini? Kenapa, sayang?


Kalau Ibu sudah nggak ada lagi, apa Diandra masih mau mengatakan Ibu ini tidak bertanggung jawab lagi? Padahal Ibu rela, lho, nggak operasi untuk bekal Diandra hidup setelah kepergian Ibu. Ibu sayang Diandra, jangan bilang Ibu nggak sayang lagi, Nak. Ibu sedih mendengarnya.


Ibu hanya mau kamu mandiri dan terbiasa untuk hidup dengan perjuangan keras kalau Ibu udah nggak ada lagi. Hanya itu saja, Sayang. Ibu mau kamu jadi terang dalam keluarga ini, keluarga yang udah terlalu gagal karena Ibu yang penyakitan ini.
Apa sekarang Diandra udah ngerti? Ngerti kalau Ibu terlalu sayang Diandra? Mudah-mudahan, yach. Semoga Tuhan beserta kamu, Nak.
I love you.
 
Setelah menuliskannya, aku segera berbaring, mungkin karena terlalu penat oleh pikiran-pikiran yang terlalu mengkhawatirkan anakku. Bagaimana dengan dia nanti? Kututup mataku, dan entah mengapa sepertinya aku tahu bahwa aku tidak akan pernah membuka mata lagi. Entahlah, apa mungkin aku terlalu lelah? Atau memang sudah waktuku? Yang jelas, jika aku pergi nanti, aku sangat berharap anakku, Diandra, menjadi terang yang sungguh sangat terang dan membuat orang yang ada di sekelilingnya bahagia.
 
Aku lihat gelap dan gelap. Padahal batas bangun pagiku adalah jam 6 pagi, namun sepertinya jam 6 pagi pun sudah terlalu lewat, tapi tetap saja aku tidak membuka mataku. Gelap dan gelap, sampai tiba aku di dekatNya, akhirnya aku melihat terang yang begitu terang. Dan aku sangat berharap setelah kepergianku, Diandra sadar bahwa dia memang tanggung jawabku yang paling berharga.
Jadilah terang, Nak!


Penulis: Uli Elysabet Pardede

Tidak ada komentar:

Posting Komentar